Saturday, March 28, 2009

Larangan Membenci

Tidak suka tak selamanya benci. Namun benci selalu tidak suka. Kita boleh tidak suka pada seseorang. Karena itu adalah fitrah. Namun jangan sampai ketidak sukaan kita membuat lahirnya kebencian. Tidak suka dapat diartikan perasaan yang tidak respek pada sesuatu. Sifatnya lebih sekedar perasaannya saja. Tidak mau meniru dan berusaha untuk menghindar. Seakan tak ada yang mengganggu walau itu hadir. Benci sifatnya lebih mendalam. Ini biasanya disebabkan adanya hal-hal yang menyakitkan dan mengecewakan. Sehingga seseorang membencinya. Rasa benci adalah faktor utama timbulnya rasa dendam dalam hati seseorang. Karena kebenciannya terhadap perilaku seseorang pada dirinya, maka timbullah tekad atau rasa ingin sekali membalas perlakuan tersebut. Itulah dendam. Benci merupakan penyakit hati yang mesti dibuang jauh. Jangan pernah hidup bersama kebencian-kebencian. Karena hal itu dapat menghalangi kebahagiaan, ketentraman dan kedamaian. Seseorang yang sudah benci pada sahabatnya, misalnya. Maka hatinya tidak akan tenang sebelum sahabatnya itu minta maaf dan mau berubah. Bahkan tidak akan pernah termaafkan. Dengan segala cara ia tempuh untuk menjauhkannya dari dirinya. Bahkan membunuhnya kalau hal itu lebih membuat hatinya lebih puas.Begitulah yang terjadi. Jika kebencian merasuki hati dan perasaan seseorang. Bisa saja menghalalkan segala cara untuk menghilangkan apa yang dibencinya. Orang tua pun dapat dilempar ke luar rumah jika benci itu meninggi. Olehnya itu, seyogyanya selalu melawan rasa benci itu walau ada hal-hal yang menjengkelkan dan tidak senonoh.Rasulullah SAW mencontohkan perilaku yang selayaknya dijadikan suri tauladan bagi semua umatnya. Nabi SAW tatkala beliau ke Thaif membawa risalah. Orang-orang di sana melemparinya sampai berdarah. Malaikat dan gunung menawarkan diri untuk membalaskan perlakuan tersebut. Namun Rasulullah SAW menolak dan berprasangka baik. Malah beliau mendoakan mereka agar keturunannya kelak berkenang menerimanya.Coba lihat juga, ketika sakit orang yang selalu buang hajat di tangganya. Rasulullah SAW malah menjenguk dan membawakannya makanan. Hal ini disebabkan karena tak sedikitpun rasa benci di hati Raulullah SAW terhadap perlakuan orang kafir tersebut. Ketika diludahi pun oleh orang kafir. Beliau tidak pernah membalas. Tak ada rasa benci. Yang ada hanya prasangka baik pada mereka. “Mungkin mereka tidak tau apa yang saya bawa”.Rasulullah SAW mengatakan bahwa belum sempurnah iman seseorang jika masih ada benci dalam dirinya terhadap saudaranya sesama muslim. Dalam hadis arbain disebutkan, Nabi bersabda:Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari Muslim) Hadis ini sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa jangan pernah ada benci di hatimu. Karena kebencianmu itu akan menyeretmu pada perpecahan dan ketidak tentraman. Dalam dunia yang serba kejam ini. Dunia yang sarat dengan persaingan, terlalu banyak potensi yang dapat membuat rasa benci hadir dalam hati. Terutama dalam dunia politik yang sarat dengan kompetisi. Orang yang kalah merasa kecewa dan membenci orang yang mengalahkannya. Akhirnya menjadi penentang segala kebijakan. Menjadi kelompok oposisi yang tak pernah mengakui kekalahan. Terkadang ada orang tak mau mengakui kebenciannya. Tak menampakkan apa yang sebenarnya terjadi. Tak mau jujur dengan perasaannya. walau sebenarnya dalam hatinya bergejolak. Sebenarnya sikap semacam itu kurang baik. Karena tidak ada usaha untuk merubah apa yang tidak disukai dalam diri seseorang.Seorang dosen pada mahasiswa misalnya. Ketika mahasiswanya berperilaku tidak menyenangkan. Maka selayaknya dosen bersangkutan jujur dan menasehatinya. Bukan mencapnya sebagai pembengkang. Tidak berakhlak. Sampai pada nilai error. Sungguh kurang etis kayaknya, jika hanya faktor kebencian dari seorang dosen saja membuat tidak lulus mata kuliahnya. Dalam tulisan ini sebenarnya, penulis ingin mengajak mari kita saling membina cinta dan rasa kasih sayang yang ada dalam hati masing-masing. Sehingga terwujud persaudaraan yang kokoh, aman dan tentram. Tidak ada lagi saling membenci. Senyum sinis menakutkan tak hadir lagi dalam kehidupan kita. Semuanya indah oleh hiasan cinta. Tak ada lagi wajah cemberut. Yang ada hanyalah senyum manis memilukan. Memikat hati setiap yang menatapnya. Semua tampak muda dengan senyuman yang tak pernah layu.Kompetisi dalam hidup ini adalah hal yang mutlak. Namun seyogyanya persaingan itu membuat lebih akrab. Buka bermusuhan dan saling membenci. Jangan pernah ada benci dalam hati. Apalagi dendam dan enggan memaafkan. Niscaya hidup lebih bahagia dan bermana. Wallahu A’lam Bisshawab. (http://homework-uin.blogspot.com atau http://mystoryzone.blogspot.com)
read more...

Wednesday, March 18, 2009

Merasa Lebih

Lebih mulia. Merasa lebih dari makhluk lain. Tatkala Adam menjadi manusia utuh. Allah mentitahkan seluruh malaikat untuk bersujud kepada Adam. Semuanya menurut. Kecuali iblis. Ia enggan. Membenbengkang. Merasa lebih mulia dari Adam. Ia dari api, sedangkan Adam dari tanah. Menurut iblis api lebih dari tanah.

Lebih benar. Merasa diri paling benar. Seakan hanya dialah yang paling benar. Hanya dia yang tidak sesat. Ketika khalifah Ali terbunuh. Kontroversi meledak. Saling mengklaim kelompoknya yang benar. Tidak kafir. Tidak melakukan dosa besar. Umat Islam mulai saat itu terpecah. Mereka saling mengkafirkan. Dosa besar dan masalah keadilan Tuhan menjadi pokok perdebatan mereka. Kelompoknya Mu’awiyah merasa pihaknyalah yang benar. Begitupun pihak Ali. Dan juga kaum moderat. Khawarij, syi’ah dan murji’ah. Merasa pihaknyalah yang benar yang lainnya sesat.

Terpecahnya kristen juga berawal dari keegoisan dan merasa pihaknyalah yang benar. Yang lainnya sesat dan kolot. Golongan protestan keluar dari katolik karena merasa dialah yang benar. Golongannyalah yang akan meraih keselamatan dunia akhirat.

Partai dan organisasi lahir karena mereka merasa lebih bisa berbuat lebih banyak dibanding ketika mereka tidak membentuk partai atau lembaga tertentu. Walau tujuan mereka pada hakekatnya sama. Tapi mereka saling menjatuhkan. Sikap saling menolong hilang.

Terbentuknya kelompok-kelompok tertentu juga karena adanya merasa lebih dari kelompok tertentu. Sehingga ia mengasingkan diri dari mereka. Terbentuknya sebuah geng pun adalah juga berangkat dari perasaan lebih. Lebih senang bersama. Bahkan hampir seluruh kelompok yang pernah ada berangkat dari merasa lebih dari sesuatu yang telah ia jalani.

Merasa lebih, kebanyakan berdampak negatif. Walau ada juga yang berakhir dengan gemilang. Keegoisan, masa bodoh dan keterbatasan wawasan menjadi faktor utama. Manusia jarang sekali melihat suatu peristiwa secara jujur dan bijak. Mereka kebanyakan hanya melihat dari satu sisi saja. Ia tak mampu melihatnya dari seluruh aspek yang ada. Selalu ada sisi hitam yang tak terlihat. Tertutupi. Sangat subjektif dalam menilai.

Merasa lebih pada hakekatnya adalah warisan sifat iblis. Tatkala Allah menyeru bersujud pada Adam. Merasa lebih selalu memicu rasa angkuh. Melihat orang lain hanya sebagai patung-patung. Tak berdaya. Orang lain rendah dan semacamnya. Merasa lebih yang berlebihan mampu menyeret siapapun pada jurang kehinaan dan kemaksyiatan. Hingga pada perilaku kekafiran. Seperti iblis laknatullah.

Menfonis orang lain sesat tanpa bukti kuat adalah perwujudan sifat iblis. Mengklaim dirinya lebih mulia. Lebih jago. Lebih pantas. Namun bisa saja ia tak punya apa-apa. Lihatlah dirimu sebelum melihat orang lain. Bercerminlah!!

Tugas manusia bukanlah saling menyalahkan. Apalagi pada tahap mengkafirkan. Saling memperbaiki, mengingatkan dan menolong saudaranya yang salah jalan. Itulah tugas khalifatan fil ardh. Bukan sebaliknya. Saling menjelek-jelekkan sesuatu yang belum tentu juga jelek.

Dalam persaingan, sangat rawan saling menjatuhkan. Semoga persaingan menjadi ajang introspeksi diri. Sebuah ruang belajar akan arti kehidupan yang begitu kompleks. Bukan saling menjatuhkan. Tapi saling membangun. Bahu-membahu. Itulah persaingan yang sportif. Sehat. Yang dikehendaki setiap manusia normal. Akhir tulisan ini, saya teringat dengan kata-kata seorang dosen. “Pintarlah Merasa. Janganlah Merasa Pintar”. Selamat bersaing! Wallahu A'lam (***)

read more...