Wednesday, March 18, 2009

Merasa Lebih

Lebih mulia. Merasa lebih dari makhluk lain. Tatkala Adam menjadi manusia utuh. Allah mentitahkan seluruh malaikat untuk bersujud kepada Adam. Semuanya menurut. Kecuali iblis. Ia enggan. Membenbengkang. Merasa lebih mulia dari Adam. Ia dari api, sedangkan Adam dari tanah. Menurut iblis api lebih dari tanah.

Lebih benar. Merasa diri paling benar. Seakan hanya dialah yang paling benar. Hanya dia yang tidak sesat. Ketika khalifah Ali terbunuh. Kontroversi meledak. Saling mengklaim kelompoknya yang benar. Tidak kafir. Tidak melakukan dosa besar. Umat Islam mulai saat itu terpecah. Mereka saling mengkafirkan. Dosa besar dan masalah keadilan Tuhan menjadi pokok perdebatan mereka. Kelompoknya Mu’awiyah merasa pihaknyalah yang benar. Begitupun pihak Ali. Dan juga kaum moderat. Khawarij, syi’ah dan murji’ah. Merasa pihaknyalah yang benar yang lainnya sesat.

Terpecahnya kristen juga berawal dari keegoisan dan merasa pihaknyalah yang benar. Yang lainnya sesat dan kolot. Golongan protestan keluar dari katolik karena merasa dialah yang benar. Golongannyalah yang akan meraih keselamatan dunia akhirat.

Partai dan organisasi lahir karena mereka merasa lebih bisa berbuat lebih banyak dibanding ketika mereka tidak membentuk partai atau lembaga tertentu. Walau tujuan mereka pada hakekatnya sama. Tapi mereka saling menjatuhkan. Sikap saling menolong hilang.

Terbentuknya kelompok-kelompok tertentu juga karena adanya merasa lebih dari kelompok tertentu. Sehingga ia mengasingkan diri dari mereka. Terbentuknya sebuah geng pun adalah juga berangkat dari perasaan lebih. Lebih senang bersama. Bahkan hampir seluruh kelompok yang pernah ada berangkat dari merasa lebih dari sesuatu yang telah ia jalani.

Merasa lebih, kebanyakan berdampak negatif. Walau ada juga yang berakhir dengan gemilang. Keegoisan, masa bodoh dan keterbatasan wawasan menjadi faktor utama. Manusia jarang sekali melihat suatu peristiwa secara jujur dan bijak. Mereka kebanyakan hanya melihat dari satu sisi saja. Ia tak mampu melihatnya dari seluruh aspek yang ada. Selalu ada sisi hitam yang tak terlihat. Tertutupi. Sangat subjektif dalam menilai.

Merasa lebih pada hakekatnya adalah warisan sifat iblis. Tatkala Allah menyeru bersujud pada Adam. Merasa lebih selalu memicu rasa angkuh. Melihat orang lain hanya sebagai patung-patung. Tak berdaya. Orang lain rendah dan semacamnya. Merasa lebih yang berlebihan mampu menyeret siapapun pada jurang kehinaan dan kemaksyiatan. Hingga pada perilaku kekafiran. Seperti iblis laknatullah.

Menfonis orang lain sesat tanpa bukti kuat adalah perwujudan sifat iblis. Mengklaim dirinya lebih mulia. Lebih jago. Lebih pantas. Namun bisa saja ia tak punya apa-apa. Lihatlah dirimu sebelum melihat orang lain. Bercerminlah!!

Tugas manusia bukanlah saling menyalahkan. Apalagi pada tahap mengkafirkan. Saling memperbaiki, mengingatkan dan menolong saudaranya yang salah jalan. Itulah tugas khalifatan fil ardh. Bukan sebaliknya. Saling menjelek-jelekkan sesuatu yang belum tentu juga jelek.

Dalam persaingan, sangat rawan saling menjatuhkan. Semoga persaingan menjadi ajang introspeksi diri. Sebuah ruang belajar akan arti kehidupan yang begitu kompleks. Bukan saling menjatuhkan. Tapi saling membangun. Bahu-membahu. Itulah persaingan yang sportif. Sehat. Yang dikehendaki setiap manusia normal. Akhir tulisan ini, saya teringat dengan kata-kata seorang dosen. “Pintarlah Merasa. Janganlah Merasa Pintar”. Selamat bersaing! Wallahu A'lam (***)


Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Merasa Lebih"

Post a Comment