Showing posts with label Khutbah Jumat. Show all posts
Showing posts with label Khutbah Jumat. Show all posts

Sunday, July 06, 2014

Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik

Oleh: Alahuddin, S.Fil.I., M.Pd.I.
* Pendidik di MAN Palopo

Pada kesempatan kali ini tak lupa saya wasiatkan kepada diri saya pribadi dan kepada kamu muslimin semuanya, agar kita selalu meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita, karena iman dan taqwa adalah sebaik-baik bekal untuk menuju kehidupan di akhirat kelak.
Telah banyak penjelasan yang menerangkan makna taqwa. Di antaranya adalah pernyataan Thalq bin Habib: “Apabila terjadi fitnah, maka padamkanlah dengan taqwa”. Mereka bertanya: “Apakah taqwa itu?” Beliau menjawab: “Hendak-nya engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya Allah, (dengan) mengharap keridhaan-Nya; dan hendaknya engkau meninggalkan kemaksiatan terhadap Allah, di atas cahaya Allah, (karena) takut kepada siksaNya”.
Ketaatan terbesar yang wajib kita laksanakan adalah tauhid, sebagaimana kemaksiatan terbesar yang mesti kita hindari adalah syirik. Sesungguhnya tauhid yang murni dan bersih adalah inti ajaran dari semua risalah samawiyah yang diturunkan Allah Ta’ala.
Tauhid adalah tiang penopang yang menegakkan bangunan Islam. Tauhid adalah syi’ar Islam yang terbesar yang tak dapat terpisahkan dari Islam itu sendiri. Inilah pesan utama Allah kepada Rasulnya yang diutus kepada ummat manusia.
Allah swt. berfirman: “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap ummat seorang rasul (untuk menyampaikan): Sembahlah (oleh kalian) akan Allah dan jauhilah thaghut.” (Q.S. An-Nahl: 36)
Itulah misi utama para Rasul, menegakkan penyembahan dan penghambaan hanya kepada Allah swt. serta menafikan dan menjauhi segala bentuk thaghut. Dan yang dimaksud dengan thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas-batas yang seharusnya tak boleh ia langgar, baik berupa sesembahan, panutan dan ikutan.
Sehingga thaghut setiap kaum/komunitas adalah siapapun yang mereka jadikan sumber dasar hukum selain Allah dan RasulNya, yang mereka jadikan Tuhan selain Allah swt. yang mereka ta’ati meskipun dimurkai dan tidak diridloi Allah Ta’ala.
Allah swt. berfirman, “Tidakkah engkau melihat kepada orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan yang diturunkan sebelummu, (padahal) mereka ingin bertahkim (mengambil hukum) dari thaghut padahal sungguh mereka telah diperintah untuk kafir kepadanya.” (Q.S. An-Nisa: 60)
Di atas kalimat Tauhid yang murni dan mulia itulah Rasulullah saw. membangun ummatnya dengan landasan yang kokoh. Dari situlah beliau menegakkan generasi yang hanya meng-Esa-kan Allah swt. dan membebaskan diri mereka dari cengkraman makhluk-makhluk lain yang dianggap sekutu bagi Allah Ta’ala.
Dan ketika seorang muwahhid (orang-orang yang menjaga tauhid) mengucapkan dan melantunkan kalimat Tauhid itu, maka seharusnya ia meyakini dua hal yang menjadi tujuan dari kalimat suci tersebut.
Apa dua tujuan itu? Tujuan pertama adalah menegakkan yang haq dan membersihkan yang bathil. Sebab, makna yang sesungguhnya dari kalimat la ilah Illallah itu adalah tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah. Sehingga, segala sesuatu selain Allah adalah bathil dan tidak berhak mendapatkan hak-hak ilahiyyah (hak-hak untuk disembah).
Lihatlah bagaimana Rasulullah saw. membersihkan Jazirah Arab dari kotoran-kotoran dan kekuasaan thoghut dan patung-patung sesembahan. Ingatlah bagaimana batu besar saat itu yang bernama Hubal yang dikelilingi 360 berhala dihancurkan oleh Rasulullah saw. dengan tangan beliau yang mulia pada saat beliau memasuki kota Makkah dengan penuh kemenangan, seraya mengulang-ulang firman Allah:“Dan Katakanlah (wahai Muhammad) telah datang Al-Haq dan hancurlah yang bathil. Sesungguhnya yang bathil itu pasti hancur.” (Q.S. Al-Isra’: 81)
Tujuan yang kedua adalah untuk mengatur dan meluruskan perilaku manusia agar selalu dalam lingkaran Tauhid yang murni kepada Allah yang terpancar dari kalimat Tauhid. Agar semua tindak-tanduk manusia dilandasi oleh keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan Yang Maha Kuasa.
Agar kalimat Tauhid itu dapat “berhasil guna” dalam mengatur perilaku manusia maka ada tujuh syarat yang harus dipenuhi, yaitu: al-’ilm (mengetahui) maknanya yang benar, al-yaqin (meyakini) kandungan-nya tanpa ada keraguan, al-ikhlas (ikhlas) tanpa ternodai oleh syirik, ash-shidq (membenarkan) tanpa mendustakannya, al-qabul (menerimanya) dengan penuh kerelaan tanpa menolaknya, tunduk pada konsekwensi kalimat Tauhid (al-inqiyad), dan semua itu harus dilandasi dengan al-mahabbah (cinta) kepada Allah swt.
Bila ketujuh syarat tersebut telah terpenuhi maka insya’Allah seluruh ibadah dan amal kita akan selalu terhiasi dan diterangi oleh kemurnian Tauhid.
Sehingga, semuanya dikerjakan hanya karena Allah, tidak ada lagi permintaan tolong selain kepada Allah, tidak ada lagi tawakkal kecuali kepada Allah, tidak ada lagi pengharapan dan rasa takut selain kepada Allah, tidak ada lagi kekuatan selain pertolongan Allah swt. Dari sinilah, seorang muwahhid akan merasakan dari lubuk hatinya yang terdalam bahwa segala sesuatu selain Allah adalah lemah dan tidak berdaya.
Maka ia tidak lagi takut kebengisan dan kekuatan para makhluq, tidak lagi terpedaya oleh kilau duniawi, dan baginya tidak mungkin ada yang dapat manandingi Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apapun yang dikehendaki Allah swt. Sehingga baginya bergantung kepada selain Allah adalah suatu kelemahan dan berharap kepada selain Allah adalah sebuah kesesatan: “Dan bagi Allah-lah segala hal ghaib yang ada di langit dan di bumi, dan kepadaNya-lah segala perkara dikembalikan.” (Q.S. Hud: 123).
Dari sini jelaslah perbedaan yang sangat jauh antara seorang muwahhid  dengan seorang musyrik. Seorang muwahhid adalah orang yang mengetahui Dzat yang menciptakannya sehingga ia pun beribadah dan menghamba padaNya dengan sebenar-benarnya.
Sebaliknya seorang musyrik adalah orang yang buta mata hatinya, kehilangan arah dan jauh meninggalkan Dzat yang melimpahkan ni’mat padanya. Na’udzu billah min dzalik.
Sejak dahulu hingga sekarang, begitu banyak manusia yang tersesatkan oleh keyakinan berbilang “tuhan” yang disembah, yang dapat dimintai pertolongan, yang dapat dijadikan sumber hukum dan yang berhak mendapatkan kekhususan-kekhususan ilahiyah.
Dan keyakinan ini adalah sebuah kesesatan yang nyata yang telah diperangi oleh Islam dengan keras. Sehingga, tidaklah mengherankan bila Tauhid yang murni kemudian menjadi syi’ar terpenting Islam yang selalu ada dalam aspek I’tiqad dan amaliyah.
Dan sesungguhnya kemunduran dan musibah-musibah yang selama ini menimpa umat Islam adalah disebabkan mereka tidak lagi memperhatikan syi’ar yang penting ini. Lemahnya ikatan tauhid dalam jiwa-jiwa mereka adalah sebab utama dari berbagai kekalahan kaum muslimin dan kemenangan musuh-musuh mereka yang kita saksikan dalam kurun waktu yang cukup lama.
Banyak di antara kaum muslimin yang tenggelam dalam kebodohan terhadap tauhid ini, sehingga mereka mendatangi penghuni-penghuni kubur, berdoa didepan batu-batu nisannya, meminta pertolongan penghuninya saat susah dan sedih. Bahkan lebih dari itu, seringkali mereka memuji dan mengagungkan panghuni kubur itu dengan ungkapan-ungkapan yang hanya pantas diberikan kepada Allah Rabbul ’alamin.
Dikarenakan lemahnya keyakinan akan pertolongan Allah, banyak di antara kaum muslimin yang kemudian menggunakan jimat dengan menggantungkan di tubuh mereka karena yakin hal itu akan mendatangkan keselamatan dan menghindarkannya dari marabahaya.
Padahal Allah telah menegaskan: “Dan jika Allah menimpakan musibah atasmu maka tidak ada yang dapat menyingkapnya selain Ia, dan jika Ia memberikan kebaikan padamu maka Ia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (Q.S. Al-An’am: 17).
Nabi Muhammad saw. pernah melihat lelaki yang mengenakan jimat di tangannya, lalu beliau berkata: “Cabutlah (benda itu) karena ia hanya akan semakin membuatmu lemah/takut. Karena sesungguhnya jika engkau mati dalam keadaan memakainya maka engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad “la ba’sa bih”). Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat) maka sungguh ia telah berbuat syirik.”
Di antara kaum muslimin juga terdapat orang yang terfitnah oleh para tukang sihir dan peramal yang katanya dapat meramal masa depan, padahal Nabi Muhammad saw. yang mulia telah menyatakan: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan pada Muhammad.” (HR. Abu Dawwud, An-Nasai, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Semua yang disebutkan di atas adalah sekedar contoh terhadap model-model kesyirikan yang dilakukan sebagian kaum muslimin. Dalam kenyataan sehari-hari kita akan menemukan model-model lain dari perilaku syirik itu dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin, yang kemudian disadari atau tidak menyebabkan lemahnya keyakinan mereka terhadap kemahabesaran, kemahakuasaan, kemahaperkasaan Allah.
Karena Tauhid mereka lemah, maka merekapun tidak begitu yakin lagi dengan pertolongan Allah, sehingga dengan amat sangat mudahnya musuh-musuh mereka menyebarkan rasa takut lalu mengalahkan mereka.
Dengan demikian telah jelaslah, bahwa rahasia kejayaan kaum muslimin terletak pada sejauh mana mereka menegakkan Tauhid yang murni dalam segala kehidupan mereka. Bukankah kejayaan dan kemengangan itu telah diraih oleh generasi pendahulu ummat ini, ketika mereka telah terlebih dahulu menghujam nilai-nilai Tauhid tersebut ke dalam kalbu mereka?
Bukankah kejayaan dan kecemerlangan itu mereka dapatkan ketika mereka meyakini bahwa misi utama mereka adalah mengeluarkan ummat manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju penghambaan hanya kepada Sang khaliq?
Oleh sebab itu, bila kita sekalian bertekad mengulang kembali kesuksesan dan kejayaan generasi As-Salaf Ash-Shaleh itu, maka tidak ada jalan lain selain menapaki jejak mereka; menegakkan kemurnian Tauhid dalam pribadi kita masing-masing. Imam Malik: “Generasi akhir ummat ini tak akan baik kecuali dengan (jalan hidup) yang telah menjadikan baik generasi pendahulunya.”
Akhirnya, semoga kita sekalian terpanggil untuk mengembalikan kejayaan dan kehormatan ummat Islam. Semoga kita sekalian tergugah untuk menebarkan rahmat Islam yang dibangun di atas kemurnian Tauhid ke seluruh penjuru dunia, sehingga terwujudlah kehidupan yang diridhoi oleh Allah saw. Amin ya Rabbal’Alamin. (*)
read more...

Saturday, June 07, 2014

Pentingnya Solidaritas Muslim

Oleh: Ibrahim Halim, S.Pd.I
* Dosen STIE Muhammadiyah Palopo

Segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw, keluarga dan sahabatnya dan para pengikutnya.
Dalam Hadis shahih, disebutkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam (saw) bersabda, “Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kecintaan, rahmat, dan perasaan di antara mereka adalah bagai satu jasad. Kalau salah satu bagian darinya merintih kesakitan, maka seluruh bagian jasad akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam”.
Dalam hadis lainnya Rasulullah saw, bersabda, “muslim yang satu dengan muslim yang lainnya seperti sebuah bangunan, saling menguatkan satu dengan yang lainnya,” sabdanya sambil menjalinkan jari-jemari beliau.
Dalam hadis yang lainnya, Rasulullah saw, juga bersabda, “barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya muslim, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya”.
Hadis-hadis dan dalil-dalil lainnya dari Alqur’an dan Assunnah, menunjukkan pentingnya solidaritas sesama muslim. Hendaknya setiap muslim senantiasa berusaha memperhatikan dan peduli dengan keadaan muslim yang lainnya di manapun ia berada.
Hakekat dan inti dari solidaritas islami adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, saling menjamin, saling berlemah lembut, saling menasehati dalam hal kebenaran, dan bersabar atasnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang mana ia memerlukan yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Setiap individu manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga diperlukan kerjasama untuk saling melengkapi.
Allah ta’ala berfirman,
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS Al-Ma’idah: 2)
Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan hambaNya untuk selalu tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan serta memperingatkan dari kerjasama dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.
Ayat ini bersifat umum, baik dalam perkara-perkara duniawi maupun akhirat. Tidak diragukan lagi hal ini, termasuk kewajiban seorang muslim yang paling penting, baik secara individu maupun kelompok. Dengan hal itulah kebaikan akan tercapai bagi kaum muslimin, agama menjadi tegak, problematika-problematika teratasi, dan barisan mereka menjadi kokoh untuk menghadapi musuh-musuh mereka. Dengan itulah tercapai kebaikan di dunia dan akhirat.
Termasuk wujud dari solidaritas islami adalah beramar ma’ruf nahi munkar, berdakwah ilallah, dan memberi petunjuk manusia pada sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat. Termasuk di dalamnya juga, membimbing orang-orang yang terbatas pengetahuan agamanya, menolong orang-orang yang dizolimi, dan mencegah orang-orang yang zolim atas yang lainnya.
Kondisi umat Islam hari ini, menuntut kita untuk senantiasa bahu-membahu saling menolong sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Sebagian membantu dengan hartanya, sebagian dengan tenaganya, sebagian dengan ilmu dan pikiran yang ia miliki. Sekecil apapun kontribusi kita bagi kaum muslimin, Allah swt pasti membalasnya, Allah berfirman,
Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (QS Saba’: 39)
Dalam ayat lain, Allah swt  juga berfirman, Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasannya) di sisi Allah, sebagai balasan yang paling baik dan paling besar pahalanya. (QS Al Muzammil: 20)
Termasuk solidaritas Islami adalah menjaga persatuan di antara kaum muslimin dan melakukan perbaikan di antara kaum muslimin yang berselisih. Allah berfirman,
Orang-orang beriman itu, sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu, dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al Hujurat: 10)
Dia ta’ala juga berfirman, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu. dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang  yang beriman (QS al Anfal: 1)
Jelas bahwa kaum muslimin seluruhnya saudara satu dengan yang lainnya, meskipun berbeda-beda warna kulit dan bahasa mereka. Meskipun kampung dan Negara-negara mereka terpencar, Islam telah menyatukan mereka diatas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah berfirman, dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Al Imran: 103)
Untuk itu, Islam melarang hal-hal yang dapat memicu perselisihan dan perpecahan diantara kaum muslimin, seperti saling mencurigai, saling memata-matai, saling bersu’udzan, dan lainnya.
Sungguh indah wasiat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam,  “Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya. Ketakwaan itu di sini -beliau menunjuk ke dadanya dan beliau mengucapkannya tiga kali. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek akhlaknya jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.”
Semoga Allah menjadikan kita dan kaum muslimin seluruhnya, sebagai orang-orang yang saling bersaudara, saling mencintai dan menyayangi, serta saling menasehati dalam kebaikan dan ketaqwaan.
Semoga Allah menjadikan kita dan kaum muslimin semuanya menjadi orang-orang yang berpegang teguh dengan KitabNya dan Sunnah nabiNya, karena hanya dengan hal itulah persatuan kaum muslimin diatas kebenaran akan tercapai. Dan akhirnya hanya kepada Allahlah kita menyerahkan seluruh urusan kita, Dialah yang Maha Mampu atas segala sesuatu.
Allah berfirman, walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Anfal: 63).
Semoga bermanfaat, Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulallah saw serta keluarga dan sahabatnya. (*)
read more...