Sunday, July 05, 2009

PRINSIP & KONTEKS KOMUNIKASI dlm AL-QUR’AN

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Puja dan puji syukur kita panjatkan khadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada kita berupa nikmat kesehatan dan pengetahuan dalam melaksanakan segala aktifitas akademik. Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita nabiallahu Muhammad SAW. beserta sahabat yang senantiasa menyeruh kepada ummat muslim untuk senantiasa tunduk dan patuh pada perintah Allah SWT., dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Menjalankan/melakukan suatu aktifitas tidak mungkin bisa berjalan dengan mulus sesuai dengan apa yang direncanakan, dalam hal ini ada saja halangan dan rintangan. Begitupun dalam menyelesaikan makalah ini, buku rujukan yang digunakan yang sesuai dengan pokok permasalahan yang diangkat sulit ditemukan. Minimnya buku yang difasilitasi di Perpustakaan kampus, tidak begitu membantu dalam mengumpulkan bahan untuk menyempurnakan makalah ini.

Untuk itu, penulis berinisiatif untuk mencari referensi lain selain di buku yakni di internet yang memiliki banyak bahan dan informasi yang dibutuhkan oleh banyak kalangan baik itu pelajar, pengusaha, pemerintahan dan lain sebagainya. Tapi hal itu tidak memberikan keyakinan bagi penulis untuk merasa puas dengan apa yang telah dibuat. Karena yakin bahwa dalam melakukan sesuatu, sepatutnya kita tidak merasa puas akan apa yang telah dilakukan dan percaya bahwa tak ada karya manusia yang bebas cacat. Kepuasan mengurangi keinginan dan motifasi untuk mengetahui lebih dalam akan sesuatu dan setiap apa yang ditulis tidak mungkin sesempurna yang diinginkan.

Tema dalam makalah ini membahas tentang komunikasi yang dipadukan dengan al-Qur’an. Jadi, selain membahas hal-hal tentang komunikasi juga harus ada dasar dalil dalam al-Qur’an sesuai dengan prinsip dan konteks komunikasi. Untuk itu sekiranya pembaca sekalian dapat memaklumi jika nantinya isi dari makalah ini tidak memberikan kepuasan atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Ataukah mungkin data-data yang anda butuhkan kurang lengkap untuk mengorek pemahaman yang lebih dalam seputar “Prinsip dan Konteks Komunikasi dalam Al-Qur’an”.

Penulis yakin bahwa kerjasama dan pengertian dari pembaca akan membantu kami untuk melakukan yang lebih baik lagi. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati dan keterbukaan, diharapkan kesediaannya untuk memberikan unek-unek yang bermanfaat berupa komentar, kritik, masukan, saran bahkan cemoohan yang membangun sebagai modal untuk berbenah pada pembuatan makalah berikutnya.

Selamat membaca. Semoga mendapat manfaat dari makalah ini.

Billahi taufiq walhidayah

Wassalamu alaikum Wr.Wb.

Makassar, 28 November 2008

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradaban masyarakat Madinah di masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Hubungan sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Hal itu tidak lepas dari kemampuan Rasulullah dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan baik dibarengi keluhuran budi pekerti. Jika ditelusuri sirah (sejarah) Nabi, akan dijumpai bahwa keberhasilan itu karena beliau menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an secara konsisten. Prinsip itu diperoleh berdasarkan inspirasi dari al-Qur’an, bagaimana manusia harus memahami dan memaknainya sebagai landasan etis untuk pengembangan ilmu komunikasi yang lebih luhur dan mencerahkan.

Dalam memaknai suatu proses komunikasi, penting untuk memahami bagaimana bentuk dari prinsip komunikasi itu sendiri. Pada dasarnya, mempelajari prinsip dan konteks komunikasi tidak lain untuk bagaimana bisa berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus menyinggung perasaannya. Walaupun sebenarnya mengungkapkan sesuatu adalah hal yang sulit, tapi jika kata-kata itu dirangkai dengan sedemikian rupa dan sopan santun maka apa yang disampaikan pasti akan mudah diterima oleh lawan bicara kita (komunikan).

Komunikasi selain bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan sesuai dengan yang dikomunikasikan, dan lain-lain.

Perlu diketahui bersama bahwa Al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio yang berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dipercakapkan. Jadi, lancarnya proses komunikasi bukan saja disebabkan oleh pola penyampaian yang kalem dan santun tetapi satu sama lain harus mengerti bahasa yang digunakan. Jika demikian maka prinsip dan konteks komunikasi yang diinginkan akan terpenuhi.

Memang Al-Quran tidak menjelaskan secara spesifik masalah komunikasi, tapi jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum tentang prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, kita akan merujuk kepada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kariman, qaulan ma’rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan, juga termasuk qaul al-zur. Di mana term-term ini akan dibahas lebih terperinci dalam makalah ini tentunya dibuktikan oleh ayat-ayat yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut dan dilengkapi dengan konteksnya.

B. Pokok Permasalahan

Ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya:

1. Apasih sebenarnya peran dan tujuan manusia itu diberikan kelebihan berupa karunia bisa bicara?

2. Perlu kita ketahui bersama, mengapa manusia itu berkomunikasi?

3. Bagaimanakah bentuk penggambaran komunikasi yang beradab?

4. Kita perlu ketahui bersama, ada beberapa prinsip komunikasi dalam al-Quran yang dibuktikan dengan ayat yang berkaitan. Sebutkan prinsip-prinsip tersebut?

5. Dalam makalah ini diterangkan bagaimana membangun komunikasi beradab sesuai dengan unsur terpenting dalam komunikasi yakni komunikator, komunike, dan komunikan?

6. Dalam melakukan komunikasi beradab, perlu diperhatikan bagaimana konteks berkomunikasi sesuai dengan Al-Quran?

BAB II

PEMBAHASAN

PRINSIP-PRINSIP DAN KONTEKS KOMUNIKASI

DALAM AL-QUR`AN

A. Komunikasi Sebagai Pengantar

Manusia, di samping makhluk beragama, adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan senantiasa membutuhkan peran-serta pihak lain. Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Qur`an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan; juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihin­darkan. Bahkan, di dalam QS. al-Hujurat/49: 13, penggunaan redaksi ya ayyuhannas? Walaupun ayatnya adalah madaniyah, menunjukkan bahwa saling mengenal yang dimaksudkan itu tidak membedakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Maka, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling mengenal atau, dengan istilah lain, ia lebih menonjolkan sikap egoistiknya, maka berarti ia telah kehilangan sifat dasar kemanusiaannya.

Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Sebagaimana bisa dipahami dari firman Allah yang artinya: “mengajarnya pandai berbicara” (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang muncul berkenaan dengan kata al-bayan, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq, al-kalam). Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayan juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala dan lain-lain. Dengan demikian, al-bayan merupakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatang.

Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Tetapi, dengan komunikasi kita juga dapat menumbuhsuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.1

Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komunikasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu dipermasalahkan. Sedemikian lumrahnya, sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksitasnya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkekurangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan seseorang.2

Dalam sebuah ungkapan Arab, “Ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara”.3 Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomunikasi tidaklah identik dengan menyampaikan sebuah informasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengandung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, di mana yang kedua mengklasifikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metakomunikasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyam­paikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.4

______________________________

1 Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), cet. ke-10, h. Kata Pengantar.

2 James G. Robbins dan Barbara S. Jones, Komuniasi Yang Efektif, terjemahan Turman Sirait, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), h. 3

3 Lihat al-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1986), h. 319

4 Jalaluddin Rahmat dalam majalah al-Hikmah, diterbitkan oleh Yayasan al-Muthahhari, Bandung, halaman iftitah.

Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaluddin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana sang komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apabila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai obyek; ia hanya menuntut agar orang lain bisa memahami pendapatnya; sementara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini, bukan saja ia telah mendehumanisasikan mereka, tetapi juga dirinya sendiri.5

B. Prinsip-prinsip Komunikasi dalam al-Qur'an

Sebelum kita masuk pada pembahasan tentang prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Quran, ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan. Pertama, al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang berarti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dikatakan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang dipercakapkan.6 Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan.7

Para pakar komunikasi menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif (agar orang lain mengerti dan paham), tapi juga persuasif (agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain). Menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong U, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, tapi juga bertujuan pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).8

__________________________

5 Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), cet. ke-4, h. 63.

6 Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 9

7 YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, Jakarta, GRASINDO, 1998), h. 69.

8 Onong Uchana, Ilmu Komunikasi, h. 10

Kedua, meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membicarakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, kami merujuk pada term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan baligha, qaulan maisura, qaulan karima, qaulan ma’rufa, qaulan layyina, qaulan sadida, juga termasuk qaul al-zur, dan lain-lain.

1. Prinsip Qaulan Baligha

Di dalam al-Qur'an term qaul baligha, yaitu surah an-Nisa': 63, yaitu berbicara dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, bicaranya jelas, terang, dan tepat. Ini berarti bahwa bicaranya efektif.

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا (63)

Mereka itu adalah orang-orang yang (sesung­guhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.s. an-Nisa'/4: 63)

Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasulullah saw, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari “berpalinglah dari mereka”), akan tetapi, cukup memberi nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah, dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.

Term baligh, yang berasal dari balagha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifayah). Perkataan yang baligh adalah perkataan yang merasuk dan membekas di jiwa. Sementara menurut al-Ishfahani,9 bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki,

___________________________

9 Al-Ishfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, (Beirut: Dar al-ma'rifah, tt.), ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani,, dalam term balagha, h. 60.

dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedangkan term baligh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara.

Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap baligh, antara lain:10

1. Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan

2. Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur

3. Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar

4. Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara

5. Kesesuaian dengan tata bahasa.

2. Prinsip Qaulan Karima

Term ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu surah al-Isra': 23 yaitu berbicara mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23)

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23)

Ayat ini menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kemanusiaan bersifat umum, karena setiap

___________________________

10 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2, h. 468.

manusia pasti menyandang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu fungsinya adalah menggabung­kan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah.

Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, Nabi Saw. Bersabda:

"Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga.

Berkaitan dengan inilah, al-Qur'an memberikan petunjuk bagaimana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-Qur'an menggunakan term karim, secara kebahasaan berarti mulia. Ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, seseorang dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar terbukti dan terlihat dalam kesehariannya.

Namun, jika term karima dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan. Disinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karim, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.11 Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaul karim adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak

________________________

11 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, juz 13, h. 318.

ingin menasehati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermaksud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaannya. Yang pasti qaul karima, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.

c. Prinsip Qaulan Maysura

Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra'/17: 28, yaitu berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa.

وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلًا مَيْسُورًا (28)

"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)

Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan."

Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisur adalah segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan. Ada juga yang menjelaskan, qaul maisura adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisura dengan qaul ma'ruf. Artinya, perkataan yang maisur adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.

d. Prinsip Qaulan Ma’rufa

Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Q.s. al-Baqarah/2: 235, al-Nisa'/4: 5 dan 8, al-Ahzab/33: 32.

Al-Qur'an surah An-Nisa'/4: 8 berbunyi:

وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (8)

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (an-Nisa'/4: 8)

Di dalam Q.s. al-Baqarah/2: 235, qaul ma'rufa disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum me­man­faatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s. al-Ahzab/33: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.

Kata ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut

1. Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiat

2. Terkait pada persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan suami-istri

3. Terkait dengan dakwah

4. Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim

5. Terkait dengan pembicaraan atau ucapan

6. Terkait dengan ketaatan kepada Allah da Rasul-Nya

Menurut al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara'. Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.

Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga orang-orang miskin dan anak-anak yatim, oleh al-Qur'an diperintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma'ruf. Hal ini sangatlah tepat, karena perkataan baik tidak bias diformulasikan secara pasti, karena hanya akan membatasi dari apa yang dikehandaki oleh al-Qur'an. Di samping itu, juga akan terkait dengan budaya dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma'ruf oleh suatu daerah, ternyata tidak ma'ruf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur'an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa 'iddahnya, menasehati istri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangktu pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn 'Asyur, qaul ma'ruf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya.

Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih); perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu; Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.

e. Prinsip Qaulan Layyina

Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha/ 20: 44 yaitu berbicara dengan lemah lembut.

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44)

“Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha/20: 44)

Ayat ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika diperintahkan untuk menghadapi Fir'aun, yaitu agar keduanya berkata kepada Fir'aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyina adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti'arah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut. Sementara yang dimaksud dengan qaul layyina adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyina adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.

Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa harus berkata lembut padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ada dua alasan: pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seharusnya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.

f. Prinsip Qaulan Sadida

Di dalam al-Qur'an qaul sadida disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa'/4: 9 yaitu berbicara dengan benar:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (9)

"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang me­reka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s. al-Nisa'/4: 9)

Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal bermaksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadid. Misalnya, dengan perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepada setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang lain.

Ucapan yang benar adalah yang sesuai dengan Al-Quran, Assunnah, dan Ilmu. Al-Quran menyindir keras orang-orang yang berdiskusi tanpa merujuk kepada Al-Kitab, petunjuk dan ilmu. Diantara manusia yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu petunjuk dan kitab yang menerangi (Qs;31:20). Al-Quran menyatakan bahwa berbicara yang benar,menyampaikan pesan yang benar,adalah prasyarat untuk kebenaran (kebaikan, kemaslahatan) amal. Bila kita ingin menyukseskan karya kita, bila kita ingin memperbaiki masyarakat kita, maka kita harus menyebarkan pesan yang benar dengan perkataan yang lain. Hal ini berarti masyarakat menjadi rusak jika isi pesan komunikasi tidak benar.

Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70 yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70)

Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadid. Atau dengan istilah lain, qaul sadid menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak penafsiran, antara lain, perkataan yang jujur dan tepat sasaran. perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain, pembicaraan yang tepat sasaran dan logis, perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain,12 perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.

g. Prinsip Qaulan Zur

Di dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s. al-Hajj: 30 yang artinya: "Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumat) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.

__________________________

12 Al-Sya'rawi, Tafsir al-Sya`rawi, jilid 4, h. 2021.

Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang mengagungkan masya'ir haram dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zur), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhankan hawa nafsu.

Asal makna kata zur adalah menyimpang/melenceng (ma`il). Perkataan zur dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melenceng dari yang semestinya atau yang dituju. Qaul zur juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda , "saksi palsu itu sebanding syirik. Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar, bahkan termasuk tindak pidana.

Membangun Komunikasi Beradab

Unsur yang terpenting di dalam komunikasi adalah komunikator, komunike, dan komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, sebagaimana dalam ungkapan Arab: "Cara lebih penting dari pada isi". Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan; namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa cara penyampaian (berkomunikasi) terkadang, atau bahkan seringkali lebih penting dari isi. Hal ini, bisa digambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar agama.

Di antara materi yang pernah didengar atau diterima adalah bahwa "setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit". Setelah mendengar nasehat ini, yang tergambar pertama kali di benaknya adalah orang tuanya yang seringkali meninggalkan shalat atau bahkan tidak pernah shalat. Kemudian si anak muda tersebut, dengan maksud menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanya, "Pak…apa bapak gak takut masuk neraka, kok sampai setua ini bapak gak pernah shalat sih…". Pernyataan ini benar, tetapi rangkaian kata yang disampaikan cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah orang tuanya sendiri atau orang yang usianya jauh lebih tua. Belum lagi, jika hal itu disampaikan dengan intonasi yang meninggi. Ini adalah contoh sederhana dari komunikasi yang tidak beradab.

Dengan demikian, komunikasi beradab pada prinsipnya merupakan suatu proses untuk mengkomunikasi kebenaran dan membangun hubungan sosial dengan komunikannya atau bermeta­komunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya akan menjadikan berpalingnya komunikan, yang berarti hilang pula informasi kebenaran itu. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur`an: "Maka disebabkan rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…"(QS. Ali ‘Imran/3: 159)

Ayat ini secara khusus ditujukan Rasulullah saw., namun secara umum adalah dimaksud untuk mendidik umatnya, bagaimana cara menyikapi orang yang menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya sebagai upaya untuk membangun sebuah komunikasi yang baik itu, yaitu dengan bersikap lembut dan santun, serta bertutur kata yang baik.

Hanya saja, ayat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah Rasulullah mendapatkan rahmat sehingga bersikap lemah lembut? Atau apakah Rasulullah bersikap lemah lembut, sehingga beliau memperoleh rahmat? Ayat di atas memang bisa dipahami secara berbalik, pertama, sebab rahmat Allah-lah, Rasulullah saw bisa bersikap lemah lembut. Namun, pemahaman semacam ini akan menafikan suatu kenyataan bahwa Rasulullah adalah sosok yang berakhlaq sangat mulia. Bahkan, jauh sebelum turunnya ayat ini atau sebelum diangkat jadi Rasul. Jadi bisa dipahami bahwa ayat tersebut dengan pemahaman kedua, yaitu bahwa rahmat dan keluhuran akhlaq menyatu secara berkelindan. Artinya, rahmat Allah tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang memang tidak layak untuk mendapatkannya.

Dengan demikian, ayat ini seharusnya dipandang sebagai bentuk penghargaan Allah kepada Rasulullah saw. Hasan al-Bashri berkata, "Ini merupakan akhlaq Rasulullah saw yang diutus oleh Allah untuk mendidik umatnya. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah menyandang dua predikat sekaligus, yaitu pemimpin agama dan pemimpin negara. Sebagai pemimpin agama, beliau telah berhasil mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan cara yang sangat indah, terutama sekali yang terkait dengan ajaran-ajaran yang memiliki tingkat sensisifitas yang tinggi di kalangan masyarakat.13 Sedangkan sebagai pemimpin negara, beliau telah berhasil membangun sebuah negara, yang didasarkan pada politik kesejahtaraan bukan politik kekuasaan. Dalam hal ini, beliau telah mengajarkan kepada umatnya bahwa kemampuan bermeta­komunikasi secara tepat bukan saja untuk berkomunikasi yang berhasil, tetapi juga erat kaitannya dengan kesadaran diri sendiri dan orang lain.

Konteks Komunikasi dalam Al-Quran

Pembangunan komunikasi yang beradab bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Komunikasi dan Pendidikan

Dalam konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter (character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam Islam diperkenalkan dengan istilah tarbiyah yang berasal dari rabba-yurabbi-tarbiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempurnaannya.

Dengan mengacu pengertian tersebut, maka pendidikan bukanlah bersifat indokrinasi atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat komunikatif. Dalam hal ini, bisa digunakan prinsip-prinsip qaul maisur, yaitu segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, benar dan tidak mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang wajar. Semakin bertambah umur, maka metode yang digunakan tentu saja berbeda ketika masih anak-anak. Namun, secara prinsip tetap sama, yaitu melahirkan generasi yang berkaraker. Misalnya, pada saat sudah dewasa, maka yang diterapkan adalah prinsip-prinsip qaul sadida, yang di antaranya adalah tepat sasaran dan logis, memiliki kesesuaian antara apa yang ada di dalam hati dengan yang diucapkan.

Di sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang

______________________________________________________________________________________________________________

13 Bisa dilihat pada peristiwa yang melatarbelakangi turunnya surah al-Lahab, (lihat Al-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn katsir, jilid 3, h. 689 dan Al-Thabari, Jami' al-Bayan, juz 30, jilid 15, hlm. 336.

sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ guru, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermeta-komunikasi. Juga kedua orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, misalnya hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan membangun komunikasi yang beradab tersebut.

2. Komunikasi dan Masyarakat

Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang paling mudah untuk dipengaruhi dan diprovokasi. Oleh karena itu, dalam konteks membangun hubungan masyarakat ini, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul baligh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehen­daki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan semata-mata bersifat profokatif dan manipulatif. Di sinilah, keluhuran akhlak si komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks membangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengetahuannya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk menipu dan memprovokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya.

Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan karakter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya justru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi ambisinya, melanggengkan pengaruh dan kekuasaanya. Dalam hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku…"Melalui kata-katanya ini Fir'aun ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah yang bias menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir'aun paham betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidupnya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai penguasa tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa as.

3. Komunikasi dan Dakwah

Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang diserukannya. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis. Demikian itu, karena Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da’i. Sebagai da'i, ia senantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.

Dalam firman Allah dinyatakan: "Hendaklah ada di antara kamu, suatu umat yang selalu mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar " (QS. Ali ‘Imran/3: 104). Ayat tersebut memberi arahan kepada setiap anggota masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada kebaikan (al-khair), memerintahkan dengan ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Tentu saja, bukan tanpa sengaja jika ayat ini mendahulukan, da'wah ila al-khair dari pada al-amr bil-ma'ruf. Meskipun dari sisi penerjemahan keduanya bisa saja memiliki arti yang sama, yaitu 'kebaikan', namun oleh para ahli tafsir, kata al-khair dipahami sebagai kebaikan yang bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan lain-lain. Artinya, konsep ini juga harus dipandang sebagai konsep universal. Dengan demikian, mengajak kepada al-khair, sebenarnya juga menjadi concern bagi agama-agama di luar Islam. Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya kehidupan yang harmonis, aman, tentram, saling meng­hormati sesama, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus memiliki komitmen yang sama untuk peduli terhadap segala bentuk prilaku-prilaku anti sosial yang terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat muslim harus senantiasa tampil yang terdepan untuk menyeru atau mengkomunikasikan, sekaligus memberi keteladanan.

Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.

Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam dan keagungan al-Qur'an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita telusuri sirah (sejarah) Nabi, maka akan dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an, sebgaimana diuraikan, secara konsisten.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat penting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makhluk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memungkinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Tetapi, dengan komunikasi kita juga dapat menumbuhsuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.

Ada tujuh term-term khusus term-term khusus yang diasumsikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi yakni:

1. Qaulan Baligha, yaitu pada surah an-Nisa': 63, yaitu berbicara dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, bicaranya jelas, terang, dan tepat. Ini berarti bahwa bicaranya efektif.

2. Qaulan Karima, yaitu pada surah al-Isra': 23 yaitu berbicara mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia.

3. Qaulan Maysura, yaitu pada surah al-Isra'/17: 28, yaitu berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa.

4. Qaulan Ma’rufa, dalam al-Qur'an disebutkan empat kali, yaitu Q.s. al-Baqarah/2: 235, qaul ma'rufa disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum memanfaatkannya secara benar (safih). Sedangkan Q.s. al-Ahzab/33: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.

5. Qaulan Layyina,yaitu Q.s. Thaha/ 20: 44. berbicara dengan lemah lembut.

6. Qaulan Sadida, disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa'/4: 9 yaitu berbicara dengan benar. Dan Q.s. al-ahzab/33: 70 yaitu diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan adalah berkata dengan perkataan yang sadid.

7. Qaulan Zur, pada Q.s. al-Hajj: 30. Tentang seseorang yang mengagungkan masya'ir haram dan memakan binatang yang dihalalkan, tapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zur), hal tersebut tidak menimbulkan dampak sedikit pun. Atau perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhankan hawa nafsu.

Komunikasi beradab pada prinsipnya merupakan suatu proses untuk mengkomunikasi kebenaran dan membangun hubungan sosial dengan komunikannya atau bermeta­komunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya akan menjadikan berpalingnya komunikan, yang berarti hilang pula informasi kebenaran yang ingin dicapai, seperti yang ditegaskan dalam Q.s. Ali Imran: 159.

Konteks komunikasi dalam pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; tapi, ada upaya yang sungguh-sungguh dari pendidik/ guru, sebagai komunikator, dalam memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermeta-komunikasi. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, bila hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq.

Konteks membangun hubungan masyarakat, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul baligh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan semata-mata bersifat profokatif dan manipulatif. Akhlak komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks membangun hubungan sosial maupun politik. Pengetahuannya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk menipu dan memprovokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta bersama-sama saling memuliakan kemanusiaannya.

Kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis. Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da’i, yang senantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.

B. Saran

1. Sadarilah bahwa sebagai makhluk sosial penting untuk mengetahui bagaimana berkomunikasi dengan baik sehingga lawan komunikasi kita bisa tertarik untuk mengikuti alur pembicaraan yang digunakan.

2. Jadilah seorang komunikator yang baik di mana bisa merangkai kata-kata menjadi enak didengar, bisa mempengaruhi komunikan yang dituju dan tentunya memiliki landasan berpikir dalam setiap kata yang diucapkan.

3. Apa yang baru anda dapatkan dari makalah ini bukanlah suatu hal yang bisa memberi banyak manfaat selama anda hanya berpedoman pada satu literatur saja. Jadi, untuk mengembangkan potensi anda dalam mengetahui dan memahami suatu disiplin ilmu maka fungsikanlah otak anda dan berpikirlah untuk menemukan apa yang ingin anda ketahui. Dan jangan pernah merasa puas dengan apa yang anda dapatkan telah dapatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Robbins, James G. dan Jones, Barbara S. Komuniasi Yang Efektif. Terjemahan: Turman Sirait. Penerbit: CV. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. 1986. hlm. 3

Rahmat, Jalaluddin. Islam Aktual. Penerbit: Mizan. Bandung. 1992. cet. ke-4. hlm. 63

----------Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Penerbit: Remaja Rosdakarya. Bandung. 2000. cet. V

Guyadi, YS. Himpunan Istilah Komunikasi. Penerbit: GRASINDO. Jakarta. 1998. hlm. 69

Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Penerbit: Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 1999

Effendy. Uchjana, Onong. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Penerbit: Remaja Rosdakarya. Bandung. 1999. cet XII

Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Khakayak dan Efek. Penerjemah: Tjun Surjaman, Penerbit: Remaja Rosdakarya. Bandung. 2000. cet. II

Susanto, Astrid S. Komunikasi dalam Teori dan Praktek. Penerbit: Bina Cipta. Bandung. 1986. cet. V

Al-Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib, al-Mufradat fi al-Gharib al-Qur`an, Mesir: Mushthofa al-Bab al-halabi, 1961.

Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan al-Qur`an. Penerbit: Mizan. Bandung. 1996 cdet. II

----------Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1995.

http://www.wahdah.or.id didownload tgl: 14 November 2008

http://www.ditpertais.net di download tgl: Rabu, 12 Nov 2008

http://www.hidayatullah.com di download tgl: Rabu, 12 Nov 2008


Judul Makalah : PRINSIP DAN KONTEKS KOMUNIKASI DALAM AL-QUR’AN
Disusun Oleh: Andi Kasman JURUSAN JURNALISTIK FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN ALAUDDIN MAKASSAR NOVEMBER 2008



Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

1 komentar: on "PRINSIP & KONTEKS KOMUNIKASI dlm AL-QUR’AN"

Ummu Hannan said...

Assalamu alaikum wm wb..Tuan Rauf,,saya mohon izin untuk guna artikel ini sebagai rujukan dan petikan saya di dalam memahami masaalah yang berkaitan dengan komunikasi dalam al Qauran. Semoga mendapat berkat dari Allah swt atas usaha Tuan untuk menjelaskan masalah ini. Jzzklh.

Post a Comment