Saturday, May 09, 2015

Perda Miras Sebaiknya Hanya Memperketat, Bukan Melarang

Suasana Dialog Miras yang digelar Media Duta di Hotel Clarion Makassar

Masalah minuman beralkohol (minol) adalah masalah yang kompleks. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian orang sudah menjadikannya kebutuhan sehari-hari. Minol juga tidak dilarang dijual di Indonesia, hanya saja termasuk dalam barang-barang pengawasan. Hanya yang perlu dilakukan adalah pengawasan ketat terhadap peredarannya.

Pada edisi kali ini, redaksi mengangkat topik utama terkait masalah aturan pengendalian minol atau miras di Kota Makassar.

Peraturan Daerah (Perda) nomor 4 tahun 2014 tentang minol di Kota Makassar banyak menuai protes, utamanya dari kalangan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini menjual eceran minol. Sebab dalam Perda ini, pengecer tradisional dilarang menjual lagi. Tapi hanya dibolehkan dijual dan diminum langsung di lima tempat, yakni hotel berbintang 3, 4, dan 5, pub, karaoke, diskotik, dan cafe.

Hal ini tentu mendapat perlawanan dari para pelaku usaha kecil, yang mengecer minol namun tetap diawasi ketat aparat.

Kami ingin menegaskan, bahwa kami bukan membela minol atau membiarkan minol ini dijual bebas tanpa pengawasan, tapi setidaknya membela pelaku UMKM ini. Karena dengan pelarangan ini, maka mereka akan kehilangan pekerjaan dan penghasilannya sudah pasti berkurang. Ibarat sudah kecil ditindis pula. Hanya pengusaha besar yang dibolehkan menjual, sementara pelaku usaha kecil dilarang.

Kami sepakat dengan apa yang diutarakan Prof Lauddin Marsuni, bahwa ini bukan membela minol, tapi demi keadilan dan kemanusiaan.
Selain itu, dengan pelarangan pedagang minol ini, maka PAD Kota Makassar akan berkurang dari sektor riil ini. Di tengah pemkot menggenjot PAD Rp1 triliun, kini harus memutar otak lagi untuk mencari sumber PAD yang lain.

Pabrik minol di Kota Makassar setidaknya ada empat pabrik yang aktif beroperasi. Jika mereka tidak punya pengecer, lalu mau dijual kemana. Selain itu, para pelaku usaha mengkhawatirkan, sulitnya diperoleh minol ini, akan berdampak pada munculnya minol oplosan, yang dampaknya akan jauh lebih besar. Bahkan sampai menghilangkan nyawa orang.
Kemudian, tidak adanya minol yang dijual eceran, juga dikhawatirkan akan memicu masuknya minol dari daerah lain yang dijual dengan sembunyi-sembunyi alias ilegal. Ini jelas merugikan kota.

Pada dialog yang kami gelar di Hotel Clarion, 17 April lalu, solusinya adalah perda minol Makassar harus direvisi. Sebab selain merugikan pelaku usaha kecil, juga banyak kejanggalan dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Perda nanti ini, diharapkan agar bisa mengakomodir pengecer tradisional, tapi dengan catatan izin penjualan itu harus diseleksi ketat. Tidak boleh dekat dengan sarana pendidikan, masjid, dan tempatnya harus 12 meter persegi, sebagaimana diatur dalam Permendag 20 tahun 2014. Juga minol harus disimpan terpisah dari barang jualan lainnya. Sebaiknya bukan melarang, tapi memperketat pengawasan dan pemberian izin menjual.

Selain itu, tentunya semoga tidak lagi ada poin-poin yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Sekali lagi, kami tidak membela minol, tapi membela kemanusiaan, seperti yang disampaikan Prof Lauddin Marsuni, saat membedah regulasi minol, pada dialog bersama para pelaku usaha hiburan dan pengecer minol di Makassar. Terima kasih. (***)

Edisi April 2015, Tabloid Media Duta Express

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Perda Miras Sebaiknya Hanya Memperketat, Bukan Melarang"

Post a Comment