Wednesday, May 27, 2015

Mendesak Direvisi; Ditemukan Banyak Kejanggalan Dalam Perda Miras Makassar


Para pedagang eceran tradisional minuman beralkohol (minol) hanya bisa pasrah dengan pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) nomor 4 tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, di Kota Makassar.


Aparat gabungan saat merazia sejumlah barang dagangan para pedagang ini tak mampu berbuat apa-apa. Mereka menyerahkan saja semua yang ingin disita aparat gabungan polisi dan Satpol PP.
Dengan pemberlakuan Perda nomor 4 tahun 2014 ini, berarti tidak ada lagi pedagang eceran minol. Minol hanya bisa ditemukan di supermarket dan hypermarket, untuk minol yang bisa dibawa pulang. Tidak ada lagi minol boleh dijual di minimarket dan pedagang eceran.
Sementara minol juga hanya bisa ditemukan di bar, hotel bintang 3, 4, dan 5. Juga di pub, karaoke, dan diskotik. Minol yang dijual di sana pun hanya boleh diminum di sana, tidak boleh untuk dibawa pulang.
Masalah minol atau minuman keras (miras) belakangan ini menjadi isu nasional. Sebab pemberlakuan efektif Permendag pada 16 April 2015 ini, mendapat banyak tanggapan dari para pelaku usaha hiburan dan industri minol. Pasalnya, dinilai banyak kejanggalan dan merugikan pelaku usaha.
Begitupun dengan Perda tentang minol di Kota Makassar. Perda inisiatif dewan ini dinilai banyak yang janggal dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Melihat banyaknya masalah dan yang dinilai janggal dengan masalah Perda ini, Media Duta Express bekerjasama dengan Lembaga Pelatihan dan Kajian Informasi Publik Tupanrita Makassar, berinisiatif menggelar dialog bersama antara pelaku usaha, Pemkot Makassar, DPRD Makassar, dan menghadirkan pakar hukum tata negara Universitas Andi Djemma (Unanda) Palopo, Prof Dr H Lauddin Marsuni, MH.
Namun sayangnya, tak satupun anggota dewan yang menyempatkan diri untuk hadir. Panitia berharap, agar ketidakhadiran wakil rakyat terhormat tersebut, bukan bentuk lari dari tanggungjawab dari aturan yang telah dibuatnya. Alasan anggota dewan ini melakukan rapat paripurna pertanggungjawabab wali kota, mulai pagi sampai sore, Jumat 17 April 2015 lalu.
Begitupun juga dengan pihak pemkot. Tak satupun pengambil kebijakan yang hadir pada dialog yang bertema 'Mencari Win-win Solution Pengendalian Miras di Kota Makassar' di Grand Clarion and Convention Hotel, Jumat 17 April 2017 lalu.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Diperindag) Kota Makassar Ismail Tallu Rahim, hanya mengutus Kabid Pedagangan Muhammad Fadli. Alasannya, karena Kadis ada perjalanan dinas ke Jakarta. Sementara dari Satpol PP hanya diwakil Kaur Opsdal Edward. Tidak ada penjelasan apa-apa kepada panitia perihal ketidakhadiran Kasatpol PP Imam Hud.
Dari dialog yang dihadiri puluhan pelaku usaha tersebut, Prof Lauddin, memaparkan sejumlah kejanggalan dalam Perda Minol inisiatif DPRD Makassar itu.
Tenaga ahli DPRD Sulsel ini menilai, Perda Minol itu banyak bertentangan dengan peraturan atau regulasi yang lebih tinggi. Salah satu peraturan yang jelas bertentangan adalah Permendag RI nomor 20 tahun 2014.
Tenaga ahli Biro Hukum Setda Provinsi Sulsel ini menjelaskan, dalam Permendag RI No 20 tahun 2014 tentang pengendalian dan pengawasan peredaran serta penjualan minuman beralkohol, sudah sangat jelas menyebutkan, jika tidak ada larangan dalam penjualan miras bagi pengusaha ritel dan supermarket.
Hanya saja, lanjut dia, dalam perda No 4 tahun 2014, memberikan larangan kepada pengusaha ritel dan supermarket di Kota Makassar.
"Intinya adalah, pengendalian dan pengawasan miras, bukan pelarangan. Harus diapakan Perda No 4 tahun 2014 ini? Ini dapat direvisi dengan menyesuaikan aturan yang lebih tinggi, supaya ada instrumen pengendalian," jelas konsultan ahli di sejumlah daerah ini.
Menurut Prof Lauddin, para pengecer mestinya juga ikut diakomodir dalam Perda miras tersebut. Sebab, dalam perda yang hanya memberikan kebebasan penjualan di lima tempat seperti hotel, karaoke, bar, pub, dan restoran saat ini tidak efektif.
Hal itu, kata dia, cenderung mematikan para pengecer yang juga punya hak dalam regulasi untuk mengembangkan usahanya, tanpa mengabaikan pengendalian, pengawasan, dan pembatasan bagi mereka.
"Para pengecer termasuk dalam pelaku usaha yang juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Kegiatan usaha adalah hak asasi manusia dan sesuai UU RI tahun 1945 Pasal 28 d ayat (1) dan pasal 28 i ayat (2) UUD. Pemerintah harus tetap mengakomodir mereka dalam aturan tanpa mengabaikan pengendalian, pengawasan, dan pembatasan," katanya.
Olehnya itu, kata Prof Lauddin, harus ada solusi yuridis dari pemerintah kota (Pemkot) serta DPRD Makassar sebagai pembuat regulasi. DPRD dapat melakukan revisi terhadap perda No 4 tahun 2014 tersebut dengan tetap memberikan ruang kepada pengecer untuk melanjutkan usaha mereka.
"Ini saya lakukan untuk membela kemanusian. Bukan membela miras. Sebab dengan pelarangan penjualan pengecer tradisional ini, maka akan ada orang yang kehilangan pekerjaannya. Padahal, UU telah menjamin setiap orang berhak melakukan kegiatan usaha, namun tetap harus diawasi, bukan dilarang," tandasnya.
Selain Permendag, Perda ini juga bertentangan dengan sejumlah regulasi yang ada, Prof Lauddin menilai, Perda nomor 4 tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, di Kota Makassar, tidak singkron atau bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Bukan hanya Permendag 20 tahun 2014, namun ada beberapa regulasi lain yang dikesampingkan dalam Perda tersebut.
Peraturan yang bertentangan dengan Perda nomor 4 tahun 2014, yang dibuat DPRD Kota Makassar, yakni pasal 28 d ayat (1) dan pasal 28 i ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia (hak asasi manusia). Dalam UU ini, pasal 28 d ayat (1), menyebutkan, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Kemudian dalam pasal 28 i ayat (2) menyebutkan, setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap yang bersifat diskriminatif itu.
"Ini berarti, menjalankan usaha adalah hak asasi manusia. Namun perlu ada pengawasan, bukan pelarangan menjalankan usaha," tandasnya.
Selanjutnya, Perda Minol Makassar juga bertentangan dengan pasal 4 huruf a UU nomor 8 tahun 1962 tentang perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
Dalam pasal tersebut menyebutkan, bahwa siapapun dilarang tanpa izin melakukan perdagangan barang-barang dalam pengawasan. "Karena miras atau minol termasuk dalam pengawasan, maka tidak boleh menjual tanpa izin. Ini berarti tidak dilarang jika ada izin. Dibolehkan tapi ada prosedur," jelasnya.
Kemudian dalam Perda ini juga melupakan pasal 1 angka 3 UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, yang menyebutkan, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
"Namun dalam Perda, hanya yang berbadan hukum yang boleh melakukan kegiatan usaha. Padahal dalam UU ini, yang boleh melakukan usaha tidak harus perseroan, tapi juga bisa perseorangan," terangnya.
Selain itu, Perda ini juga bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) RI nomor 74 tahun 2013.
"Solusi yuridis yang bisa ditempuh adalah, ajukan revisi Perda nomor 4 tahun 2014 ke dewan. Dan yang kedua, akomodir hak para pelaku usaha kecil, seperti pengecer minol namun dengan pengawasan yang lebih baik," sarannya, memberi solusi.

PELAKU USAHA
Ketua Forum Industri Pariwisata dan Pengecer Tradisional Kota Makassar, Ir Zulkarnaen Ali Naru, menyebutkan, sangat banyak kejanggalan dalam Perda nomor 4 tahun 2014 ini.
Menurutnya, sempat setelah disahkan, Perda Miras yang beredar ke para pelaku usaha masih memakai waktu Indonesia Barat (WIB). Diduga Perda hasil jiplakan alias copy-paste, atau tidak konsistenan penggunaan waktu. Sebab setelah disadari, perda yang berdar itu kemudian ditarik lalu diganti dengan Wita (Waktu Indonesia Tengah).
"Kemudian, pedagang pengecer minol tradisional tidak pernah dilibatkan selama dalam pembahasan. Padahal mereka yang terkena dampak langsung dari Perda ini. Ini jelas melanggar aturan," tandas Zulkarnaen, yang juga Ketua Asosiasi Usaha Hiburan Makassar (AUHM) ini.
Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Perda Miras ini, yang terkait masa berlaku SIUP-MB untuk penjual langsung hanya berlaku selama 1 tahun. Padahal di Permendag RI 20 tahun 2014, pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), disebutkan SIUP-MB berlaku 3 tahun.
"Pasal 7 ayat (4) Perpres nomor 74 tahun 2014 perihal kewenangan daerah sesuai dengan isi pengaturannya adalah kewenangan dalam menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol di tempat-tempat sebagaimana disebut pada ayat (1) dan (3) bukan palarangan, tapi hanya pengawasan dan pengaturan. Olehnya, larangan penjualan eceran yang diatur padal 18 Perda nomor 4 tahun 2014, telah melampaui kewenangan yang diberikan dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Perpres nomo 74 tahun 2014," terangnya.
Pasal 22 huruf f Perda Miras Makassar terkait pembentukan tim terpadu yang melibatkan unsur organisasi keagamaan, ormas, dan LSM, malah akan menimbulkan dampak yang serius. Sebab hal ini seolah memberi mandat tersendiri dan memberikan pembenaran bagi ormas untuk melakukan penegakan hukum sepihak dan main hakim sendiri terhadap pedagang. Padahal, dalam pasal 33 huruf d Permendag 20 tahun 2014, disebutkan tim terpadu hanya dari unsur pemerintah dan keamanan, tidak ada pelibatan ormas atau LSM dan yang lainnya.
Dikatakannya, dampak penghapusan pedagang pengecer minol dalam Perda ini dikhawatirkan akan menimbulkan beredarnya minol oplosan, karena minol sulit ditemukan, sementara sebagian orang minol sudah menjadikan kebutuhan.
"Kemudian juga mengurangi pendapatan daerah, menyebabkan juga pengangguran atau kehilangan pekerjaan bagi karyawan dan pengecer minol," tandasnya.
Mantan jurnalis ini juga menyebutkan, pelarangan pengecer juga berarti membunuh pelaku usaha kecil (pengecer) dan membesarkan pengusaha besar (supermarket dan hypermarket).
"Dengan sulitnya minol ditemukan, maka akan mengurangi kunjungan wisatawan tertentu ke Makassar. Sebab orang-orang tertentu biasanya enggan datang jika tidak ada minol dijual," tandasnya.
Jadi, kata dia, solusinya yang ditawarkan adalah, tetap mengakomodir 20 pengecer tradisional yang tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Kota Makassar. Mereka inilah yang diawasi ketat. Jika melanggar, cabut izinnya, dan jangan keluarkan aturan baru lagi. Kalau 20 pengecer ini melanggar, maka tidak usah lagi ada pengecer.
"Memang ada 150 lebih pengecer yang pernah ada. Tapi setelah kami survei, hanya ada 20 yang pantas. Selainnya, ada yang dekat dengan sekolah, rumah ibadah, dan tempatnya tidak memenuhi syarat," jelasnya.
Sekaitan dengan banyaknya anggapan miras atau minol yang menjadi penyebab kriminalitas, Zulkarnaen membantah hal itu. Menurutnya, minol saat ini bukan penyebab kriminal, sebab tidak ada data yang menyebutkan hal itu. Contohnya, Jalan Nusantara jarang ada kasus kriminal yang diakibatkan semata oleh minol.
Dikatakannya, saat ini pihaknya telah mengajukan ke dewan agar Perda ini segera direvisi. Sebab menurutnya, Perda ini sudah mendesak direvisi. Banyak hal yang janggal. "Kami juga sudah audiens dengan para pemangku kepentingan untuk segera merevisi ini. Sebab idealnya menurut kami, pengecer tidak boleh dimatikan. Cukup diawasi dengan baik, sehingga pendapatan daerah bisa bertambah," ujarnya.

DISPERINDAG: ITU INISIATIF DEWAN
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Makassar dan Satpol PP Kota Makassar, mengaku setuju saja dengan usulan revisi Peraturan Daerah (Perda) nomor 4 tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, di Kota Makassar.
Perda inisiatif anggota DPRD Kota Makassar, mengurangi pendapatan daerah. Sebab ada pelarangan penjualan minuman beralkohol (minol) di tingkat pengecer. Selain itu, mendengar banyak keluhan dari masyarakat pengecer, karena usaha mereka ditutup. Selain dampak lain.
Kabid Pedagangan Disperindag Makassar, Muhammad Fadli, yang mewakili Kadisperindag Ismail Tallu Rahim, pada kesempatan itu, mengaku, jika keluhan pelaku usaha tersebut cukup masuk akal.
"Saya kira apa yang menjadi keluhan pelaku usaha ini adalah benar. Perda ini adalah inisiatif dewan, sehingga kami cukup ikut dengan aturan yang ada. Kalau mau diusul revisi, kami setuju saja," katanya.
Dikatakannya, target PAD yang ditargetkan Disperindag sebesar Rp5,6 miliar tahun ini harus menggenjot dari sektor yang dibolehkan aturan. Ia mengaku, jika penghapusan pedagang pengecer ini jelas mengurangi potensi pendapatan yang ada.
Sementara itu, Kaur Operasional dan Pengendalian Satpol PP Makssar, Edward, pada kesempatan itu juga, mengatakan, jika selama Perda ini belum direvisi, maka pihaknya tetap akan menindak. "Jadi kalau mau ada perubahan, sebaiknya ini direvisi. Sebelum itu direvisi, maka kami tidak ada kompromi," tandasnya.
Saat ini, kata dia, sudah ada 4.076 botol yang disita. Kebanyakan dari penjualan eceran, dan SITU SIUP-nya tidak ada. "Semua yang kami lakukan ini, semuanya berdasar investigasi. Jadi sebelum menggerebek, kami sudah investigasi memang. Jadi mohon maaf kepada para pengusaha ini, karena itulah tugas kami, mengawal Perda," tandasnya.
Ia juga mengaku, masalah minol ini persoalan dilematis. Di sisi lain menuju kota dunia, tapi di sisi lain, kota dunia biasanya ada minol. Ini juga sebenarnya bisa mengurangi investor yang masuk. (up-jy)


>>> Grafis <<<


Mengapa Harus Direvisi?

Dugaan Kejanggalan Perda Makassar

Versi Pelaku Usaha
- Setelah disahkan, Perda Miras yang beredar ke para pelaku usaha masih memakai waktu Indonesia Barat (WIB). Diduga Perda hasil jiplakan alias copy-paste.
- Pedagang pengecer minol tradisional tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan. Padahal mereka yang terkena dampak langsung dari Perda ini.
- Ketentuan pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Perda Miras ini, yang terkait masa berlaku SIUP-MB untuk penjual langsung hanya berlaku selama 1 tahun. Padahal di Permendag RI 20 tahun 2014, pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), disebutkan SIUP-MB berlaku 3 tahun.
- Pasal 7 ayat (4) Perpres nomor 74 tahun 2014 perihal kewenangan daerah sesuai dengan isi pengaturannya adalah kewenangan dalam menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol di tempat-tempat sebagaimana disebut pada ayat (1) dan (3) bukan palarangan, tapi hanya pengawasan dan pengaturan. Olehnya, larangan penjualan eceran yang diatur padal 18 Perda nomor 4 tahun 2014, telah melampaui kewenangan yang diberikan dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Perpres nomo 74 tahun 2014.
- Pasal 22 huruf f Perda Miras Makassar terkait pembentukan tim terpadu yang melibatkan unsur organisasi keagamaan, ormas, dan LSM, malah akan menimbulkan dampak yang serius. Sebab hal ini seolah memberi mandat tersendiri dan memberikan pembenaran bagi ormas untuk melakukan penegakan hukum sepihak dan main hakim sendiri terhadap pedagang. Padahal, dalam pasal 33 huruf d Permendag 20 tahun 2014, disebutkan tim terpadu hanya dari unsur pemerintah dan keamanan, tidak ada pelibatan ormas atau LSM dan yang lainnya.


Versi Pakar Hukum Tata Negara
- Bertentangan dengan Pasal 28 d ayat (1) dan pasal 28 i ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia terkait masalah Hak Asasi Manusia (HAM).
- Tidak singkron pasal 4 huruf a UU nomor 8 tahun 1962 tentang perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
- Pasal 1 angka 3 UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
- Peraturan Presiden RI nomor 74 tahun 2013.


Tanggapan Disperindag
- Perda itu adalah inisiatif DPRD Kota Makassar.
- Sepakat jika ada yang mengajukan revisi Perda.
- Siap memberikan pelayanan yang sama kepada semua pihak, tanpa membeda-bedakan.
- Mengakui jika penghapusan pedagang eceran minol kurangi pendapatan daerah.


Tanggapan Satpol PP
- Siap menegakkan Perda Miras ini sampai setelah ada perubahan.
- Kalau keberatan, silahkan ajukan revisi ke DPRD.
- Seluruh tindakan penggerebekan berdasar investigasi.


Dampak penghapusan pedagang pengecer minol
- Dikhawatirkan akan beredar minol oplosan, karena sulit ditemukan, sementara sebagian orang sudah menjadikannya kebutuhan.
- Mengurangi pendapatan daerah.
- Pengangguran atau kehilangan pekerjaan bagi karyawan dan pengecer minol.
- Membunuh pelaku usaha kecil (pengecer) dan membesarkan pengusaha besar (supermarket dan hypermarket).
- Akan mengurangi kunjungan wisatawan tertentu ke Makassar.
- Miras atau minol saat ini bukan penyebab kriminal, sebab tidak ada data yang menyebutkan hal itu. Contohnya, Jalan Nusantara jarang ada kasus kriminal yang diakibatkan semata oleh minol.


Solusi yang ditawarkan
- Ajukan revisi Perda nomor 4 tahun 2014 ke dewan.
- Akomodir hak para pelaku usaha kecil, seperti pengecer minol namun dengan pengawasan yang lebih baik.
- Asosiasi mengajukan hanya mengakomodir 20 pengecer yang tersebar di seluruh kecamatan di Kota Makassar. Sehingga pengawasannya lebih gampang.


*( Sumber: Diolah dalam berita


Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Mendesak Direvisi; Ditemukan Banyak Kejanggalan Dalam Perda Miras Makassar "

Post a Comment