Sunday, September 15, 2013

Catatan Perjalanan Kunker Arjuna-Markus Nari ke Rampi (2); Baju Adat Kulit Beringin Dibarter Kerbau

KAIN TRADISIONAL. Tampak kain hasil kerajinan yang dibuat dari kulit pohon beringin. 


Catatan Perjalanan Kunker Arjuna-Markus Nari ke Rampi (2)
Baju Adat Kulit Beringin Dibarter Kerbau

MESKI wilayah terpencil, namun Kecamatan Rampi, Luwu Utara memiliki penduduk sekitar 3.000 jiwa, dengan wajib pilih hingga 2.000 orang. Sebagai masyarakat adat tentunya berbeda dengan wilayah lainnya.

Laporan: Abd Rauf

Ciri khas masyarakat adat Rampi, dimana baju yang terbuat dari kulit pohon beringin dihargai dengan seekor kerbau. "Untuk satu pasang biasanya dibarter dengan satu ekor kerbau, atau jika dirupiahkan sekitar Rp10 juta," kata masyarakat Rampi.
Baju ini memiliki motif dan ciri khas tersendiri. Untuk mendapatkan satu meter kain persegi, dibutuhkan waktu sekitar dua pekan untuk pembuatannya. Harga produksinya pun sekitar Rp250 ribu untuk satu meter itu.
"Bahan baku kulit pohon beringin biasanya kami ambil di hutan. Untuk sampai ke kampung, butuh tenaga dan biaya. Sehingga, biayanya sekitar Rp250 ribu," ujar salah satu pengrajin, Herlina Sinta, yang berusaha mempertahankan kerajinan pembuatan kain sejak ratusan tahun ini.
Jika kain itu sudah utuh menjadi sepasang baju dan celana, harganya sudah sampai sekitar Rp10 juta. Atau masyarakat di sana yang tidak punya uang, biasanya baju itu dibarter dengan satu ekor kerbau. Pembuatan baju itu pun membutuhkan waktu yang tak singkat, butuh waktu sekitar dua bulan.
Untuk membuat kain dari kulit pohon beringin itu, para pengrajin menggunakan bebatuan semacam keramik yang telah berumur ratusan tahun. Sudah ada alatnya sejak satu abad silam. Mulanya, kulit yang baru datang ditumbuk dan dimasak.
Menumbuk atau memukul-mukul pakai batu dibutuhkan kesabaran para pengrajinnya. Sudah ada beberapa macam batu yang digunakan. Batu yang irisannya agak kasar digunakan untuk kain yang masih kasar, sedangkan kain yang sudah lebih lembut, digunakan batu yang irisannya lebih halus. Begitu seterusnya, hingga kain itu menjadi halus sesuai selera.
Untuk membuat ukiran di kain yang telah jadi, digunakan getah kayu. Untuk pilihan warna, diambil dari getah kayu yang sesuai dengan warna yang diinginkan. Namun kebanyakan dari baju itu memiliki corak berwarna merah ketua-tuaan.
Di sana juga masih ada baju yang diklaim telah berumur ratusan tahun. Baju itu, menurut masyarakat setempat, dulu dipakai oleh permaisuri raja, atau istri Tokey Tongko (sebutan untuk ketua adat Rampi, red).
Namun sayangnya, kerajinan kain ini sudah mulai ditinggalkan masyarakat di sana. Hampir tidak ada lagi yang berminat mempertahankan warisan nenek moyangnya. "Di sini masyarakat tidak banyak yang mau mempertahankan kerajinan ini. Sehingga saya berusaha membuat kain ini untuk mempertahankan adat dan warisan nenek moyang kami di sini," ujar Herlina.
Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Markus Nari, yang melihat langsung kerajinan khas itu menyatakan tertarik. Untuk itu, Markus menawarkan untuk membawa ke Jekarta untuk dipamerkan nanti. "Ini sangat bagus. Perlu ditonjolkan nilai seninya yang khas. Ini perlu dipromosi agar pemerintah pusat dan masyarakat luas mengenal ini. Sebab ini termasuk khas dari Rampi. Mengenai persoalan ongkos pembuatan dan sampai ke Jakarta, nanti saya yang tanggung semua," ujarnya, saat meninjau langsung pembuatan kain khas tersebut. (*)
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Catatan Perjalanan Kunker Arjuna-Markus Nari ke Rampi (2); Baju Adat Kulit Beringin Dibarter Kerbau"

Post a Comment